Jumat, 13 Februari 2009

Anti Mainstream!!

Kemaren nyokap mem-forward email dari temen kuliahnya jaman jebot. Isinya ngga jauh tentang hay apa kabar gitu, ternyata teman lama ini dulunya sering didaulat jadi baby sitter gw. Nyokap gw dulunya termasuk yang cepat kawin, eh tapi tanpa gelar MBA loh yaw (as in MarriedByAccident). Begitu gw lahir, nyokap masih menjabat mahasiswa UI, sehingga pada prakteknya gw kerap dikewer- kewer ke kampusnya. Nah jadinya si tante ini yang jagain gw kalo nyokap lagi mengenyam ilmu. Rupanya mereka berdua ketemu lagi di Facebook. Tante seneng banget dengan fasilitas networking ini, dia muji inventornya sampe beberapa kali. Dan gw memang menemukan perubahan positif di nyokap, dia jadi stay tuned terus di depan komputer, ngga berhenti nulis sesuatu di wall temen- temennya, dan dia jadi ter-update selalu dengan gosip terbaru angkatannya. Dia jadi pengguna facebook sejati.

All of these remind me of this conversation I had sometime ago.

Waktu itu gw lagi makan bersama..ehm..teman gw. Dia yang makan sih, gw sruputin teh botol. Tercetus bahwa dia tidak menyukai Facebook karena hal itu terlalu happening dan mainstream. Mainan yang sangat populer, hampir semua orang melakukannya dan menyukainya. Dia memang mengakui kalo dia punya account di facebook, tapi hanya untuk "Pengen tau aja". Temannya pun cuma satu orang. Lebih jauh dia merepet,
"Apa sih yang bedain Friendster dengan Facebook, toh sama aja, liat aja nanti juga Facebook nasibnya sama kayak Friendster. Apa coba bedanya??..Ngga ada kan"
Gw berpikir keras sat itu, harga diri sedikit tersentil, sekenanya gw jawab,
"Yah abis tampilannya lebih menarik sih"
Argumen yang lemah, akhirnya gw tambahin
"Orang- orang yang suka dengan Facebook, kebanyakan tu orang- orang yang butuh akan fungsinya, yaitu networking. Atau mungkin personal branding"
Dalam hati sih tau, ni orang pasti akan berargumen lagi
"Nggalah, sama aja kok. Bisa apply lagu, video, posting ini itu, kasih komentar, status, iyakan?! Sama aja sebenernya"
Yaudahlah, gw ngga mengiyakan, gw juga ngga bales pernyataan dia. Padahal gw yakin, alasan dia salah, otomatis pernyataan dia ngga kuat, tapi orang bebas berpendapat toh?? Masalahnya, gw ga hebat dalam hal semacam ini, ngga ahli dalam subjek permasalahannya. Malah takut nanti jadi kesannya sok tawu.

Apa yang gw tangkap dari orang ini, dia tidak (atau mungkin belum) menerima keberadaan Facebook ini, hanya karena semua orang mengetahui dan menyukainya. Dia anti mainstream. Kok...kedengarannya....arogan sekali. Sejujurnya, gw juga seperti ini, untuk beberapa tren gw juga suka males ngikutin cuma karena orang udah banyak yang mengaplikasikannya, contoh: blackberry, faktor bajet dan belom butuh juga sih. Sebenarnya NPWP juga "happening" banget loh tahun lalu, semua orang bikin NPWP, beberapa karena diancam denda 20% dari penghasilan, beberapa membayangkan fiskal gratis, beberapa karena peer pressure. Gwpun termasuk salah satu pemilik NPWP karena iming- iming fiskal gratis.

Terserahlah apa yang orang itu pikirkan. Tren diikuti bukan untuk sekadar eksistensi. Di balik itu ada fungsi dan peran juga kok ternyata. Dan selama diperlukan, gw akan mendukung Facebook, karena gw perlu dan Facebook membuat nyokap gw tertawa.

Kamis, 12 Februari 2009

Rambut Indah Bagaikan.......

Jujur ngga ada maksud untuk menjadikan ini menjadi kebiasaan, tapi kira- kira setaun yang lalu, bagaikan dapet wangsit, gw langsung berteguh hati untuk memotong rambut gw. Langsung order model BCL (hip pada masa tersebut) ke Mas Mono, Mas Mono dengan luwesnya mengacak-acak rambut gw pake guntingnya. Hasilnya...memuaskan...tapi emang dasar nasib rambut kiting yah, begitu kena aer kan langsung kembali ke asal muasalnya. Untung gw punya life savior, the catokanz, hair straightener oleh- oleh dari nyokap waktu iseng ke Mangga Dua. Nah berkaitan dengan hal tadi, tahun ini tepat di bulan yang sama, dorongan tadi dateng lagih, kebetulan???? Yaudah deh ngga usah sok mistik, begitulah kiranya kataku dalam hati.

Tanpa banyak pertimbangan, gw samperin Mas Mono, order model pendek...ehm..modelnya..yah yang jaman sekarang ajalah. Hasilnya....kok agak lebih pendek dari taun lalu yah..hmm..ah bodo deh..toh di rumah ada catokanz untuk mencegah kekitingan. Diriku pun berlalu dari tempat Mas Mono, senang hati karena ngga gerah dan ngga perlu repot nguwel-nguwel rambut ala juminten lagi. Tinggal denger apa kira- kira komen orang, not that it's important or anything, but sometimes their words are some sort of matter. Yea I know it's shallow, condescending, and pathetic, but for insecure soul like mine, this thing works that way, I'm not proud of it, beeelieve meee.

Sebagai anak baru di kantor, gw emang ngga berharap orang- orang untuk menyadari perubahan gw. Tapi ternyata...banyak juga yang ngeh, mereka ngga berkomentar banyak, cuman sekadar "Ih rambutnya jadi pendek" atau "Ya ampun lucu banget, jadi tambah 'ndud"
Semua masih gw terima dengan baik dan lapang dada. Tak dinyana, satu komentar datang menyergap
"Eh kamu,...kamu pake wig ya???"
Loh kok gw jadi dikira pake wig, apa rambut pendek kiting gw yang dicatok ini kelihatan seperti wig yah??Jangan- jangan, orang ngeliat gw seperti itu. Nah liatkan betapa labilnya gw, memalukan.
Tapi pertanyaan...menyebalkan tadi gw jawab "Aaa..Ngga.." dengan polos plus muka kaget (karena emang ngga nyangka bakal dilempar pertanyaan seperti itu).

Komentar paling dalem gw dapet dari Hancut. Ternyata Hancut dan gw mengenal satu manusia yang sama, salah satu aset Tuhan di dunia, yang kebetulan dipanggil Tuhan lebih dulu. Hancut sempet diam dan merhatiin gw, sambil mengamati dia bilang "Iya ih, lama- lama kalo dilihat lo mirip Bey. Cerewetnya juga mirip". Hahaha, lucu loh denger komen seperti itu, antara tersanjung dan miris, dan seakan- akan muka Bey muncul dan suara Bey terngiang- ngiang di kepala gw. Reflek, gw pasang muka cengengesan, sempet lupa bagaimana berakting cool, akhirnya lanjut terus dengan cengengesan.

Hari itu di kantor ditutup dengan komentar yang dilempar dengan manisnya dan ikhlasnya dari Ibu Tati. Ibu berjilbab yang harum selalu ini ketemu gw di tempat wudhu. Begitu selesai berwudhu, dia agak kaget melihat gw yang ngantri di belakangnya, responnya instan dan segar
"Alhamdulilaaaahhh cantiknyaaaa. Kamu cantik sekali loh diginiin, bener deh. Alhamdulilah, bagusan gini, seger, jadi cantik, bener loh"
Ya ampun, enak banget dengernya. Komentar terakhir ini bener- bener matiin komentar rambut wig tadi, hah beat that sucker! Langsung gw berterima kasih dan tidak lupa memanjatkan doa buat Bu Tati. That kind of compliment doesn't come quite often y'know.

Oh, ampir lupa, satu yang bikin gw mengernyitkan alis karena agak ngga percaya, Dio bilang rambut gw bagus. Hmm..kira- kira apa yang bikin dia jadi se-open minded ini yah? Masa segitu spektakuler bagusnya rambut gw sampe- sampe seorang Dio pun setuju dengan Bu Tati. Hmm..pendapatnya emang bukan segalanya buat gw, tapi emang ada secercah harapan dari gw, mudah- mudahan dengan begini tandanya Dio membuka pikirannya, dan berubah menjadi Dio yang....asik.

Pengakuan akan penampilan emang penting sekaligus cetek, tapi hari itu gw mendapat lebih dari sekadar pengakuan. Hari itu lucu aja buat gw. Gara- gara rambut gw jadi nambah teman di kantor, bahkan orang yang blom pernah ngomong ama gw sampe komen gw pake wig, terus gw bisa "ketemu" Bey lagi, ngerasain dapet pujian lagi setelah super lama banget ngga dapet pujian, dan bisa denger apa yang pengen gw denger dari seorang Dio.

Kamis, 05 Februari 2009

The Cheese


Few days ago I took the liberty to stroll down the memory lane. The occasion was simple, delivering the unimportant CD, filled with requested songs, to a friend at the old office. Well, you probably wondering why I took this matter as such a burden. I don't talk about it in this blog because the less you talk about it, the less important it becomes.

Let's just say I resigned in pretty bad situation, what's me without a conflict, right. Anyhow, I got there and most of people were already went home. Eventually there were 3 of us, talking non sense, making jokes, and watching half of Bolt. And when we realized time did flew by, we set ourselves to go. Right before I walked out of that place, I found myself walking around my old desk, looking around the place, how that place once made me a whole. It was my second home, my cheese labyrinth, my comfort zone.

However, far before the conflict occurred, something stroke me..I got to get out of here. I was too convenient, my surrounding there was too pleasant. Something inside me refuse to take another time nestling in there. It woke me up, I was sensible enough to see my work there was done as the work had me done as well. It was just something I had to do.

Guess that guy who wrote Who Moved My Cheese is right after all. To tell you the truth, I haven't read the book, yea can't figure out why but I can't read motivational readings. Maybe because they are all describe in rigid contents, put some colors, curves, and pictures, then my brain will able to digest, though the book tells in parable. The moral point is at some point you have to make drastic change, for your own good. That consciousness in you snaps you out, telling you to make a turn, fear is inevitable but eventually you will get to your senses. Just step up, changes are necessary. But that's not the important thing, the big question is how do you deal with the change. And no, this is not Mario Teguh talking, just plain old silly girl.

In my case, uhm..yea I'll get my niche. You'll see.